Abū Abdullāh Muhammad bin Idrīs
al-Shafiī atau Muhammad bin Idris asy-Syafi`I yang akrab dipanggil Imam Syafi'i
(Gaza, Palestina, 150 H / 767 - Fusthat, mesir 204H / 819M) adalah seorang
mufti besar Sunni Islam berasal dari keturunan bangsawan Qurays dan masih
keluarga jauh rasulullah SAW. dari ayahnya, garis keturunannya bertemu di Abdul
Manaf (kakek ketiga rasulullah) dan dari ibunya masih merupakan cicit Ali bin
Abi Thalib r.a.
Semasa dalam kandungan, kedua orang
tuanya meninggalkan Mekkah menuju palestina, setibanya di Gaza, ayahnya jatuh
sakit dan berpulang ke rahmatullah, kemudian beliau diasuh dan dibesarkan oleh
ibunya dalam kondisi yang sangat prihatin dan seba kekurangan, pada usia 2
tahun, ia bersama ibunya kembali ke mekkah dan di kota inilah Imam Syafi’i
mendapat pengasuhan dari ibu dan keluarganya secara lebih intensif.
Saat berusia 9 tahun, beliau telah
menghafal seluruh ayat Al Quran dengan lancar bahkan beliau sempat 16 kali
khatam Al Quran dalam perjalanannya dari Mekkah menuju Madinah. Setahun
kemudian, kitab Al Muwatha’ karangan imam malik yang berisikan 1.720 hadis
pilihan juga dihafalnya di luar kepala, Imam Syafi’i juga menekuni bahasa dan
sastra Arab di dusun badui bani hundail selama beberapa tahun, kemudian beliau
kembali ke Mekkah dan belajar fiqh dari seorang ulama besar yang juga mufti
kota Mekkah pada saat itu yaitu Imam Muslim bin Khalid Azzanni.
Kecerdasannya inilah yang membuat
dirinya dalam usia yang sangat muda (15 tahun) telah duduk di kursi mufti kota
Mekkah, namun demikian Imam Syafi’i belum merasa puas menuntut ilmu karena
semakin dalam beliau menekuni suatu ilmu, semakin banyak yang belum beliau
mengerti. Meskipun Imam Syafi’i menguasai hampir seluruh disiplin ilmu, namun
beliau lebih dikenal sebagai ahli hadis dan hukum karena inti pemikirannya
terfokus pada dua cabang.
Ilmu tersebut, pembelaannya yang
besar terhadap sunnah Nabi sehingga beliau digelari Nasuru Sunnah (Pembela
Sunnah Nabi). Dalam pandangannya, sunnah Nabi mempunyai kedudukan yang sangat
tinggi, malah beberapa kalangan menyebutkan bahwa Imam Syafi’i menyetarakan
kedudukan sunnah dengan Al Quran dalam kaitannya sebagai sumber hukum islam.
Karena itu, menurut beliau setiap
hukum yang ditetapkan oleh rasulullah pada hakekatnya merupakan hasil pemahaman
yang diperoleh Nabi dari pemahamannya terhadap Al Quran. Selain kedua sumber
tersebut (Al Quran dan Hadis), dalam mengambil suatu ketetapan hukum, Imam
Syafi’i juga menggunakan Ijma’, Qiyas dan istidlal (penalaran) sebagai dasar
hukum islam.
Berkaitan dengan bid’ah, Imam Syafi’i
berpendapat bahwa bid’ah itu terbagi menjadi dua macam, yaitu bid’ah terpuji
dan sesat, dikatakan terpuji jika bid’ah tersebut selaras dengan prinsip
prinsip Al Quran dan Sunnah dan sebaliknya. Dalam soal taklid, beliau selalu
memberikan perhatian kepada murid muridnya agar tidak menerima begitu saja
pendapat pendapat dan hasil ijtihadnya,
Beliau tidak senang murid muridnya
bertaklid buta pada pendapat dan ijtihadnya, sebaliknya malah menyuruh untuk
bersikap kritis dan berhati hati dalam menerima suatu pendapat, sebagaimana
ungkapan beliau ” Inilah ijtihadku, apabila kalian menemukan ijtihad lain yang
lebih baik dari ijtihadku maka ikutilah ijtihad tersebut “. Beliau juga pendiri
mazhab Syafi'i.
Saat usia 20 tahun, Imam Syafi'i
pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama besar saat itu, Imam Malik. Dua
tahun kemudian, ia juga pergi ke Irak, untuk berguru pada murid-murid Imam
Hanafi di sana.Imam Syafi`i mempunyai dua dasar berbeda untuk Mazhab Syafi'i.
Yang pertama namanya Qaulun Qadim dan Qaulun Jadid.
Kelahiran dan kehidupan keluarga
Kelahiran
Kebanyakan ahli sejarah berpendapat
bahwa Imam Syafi'i lahir di Gaza, Palestina, namun di antara pendapat ini
terdapat pula yang menyatakan bahwa dia lahir di Asqalan; sebuah kota yang
berjarak sekitar tiga farsakh dari Gaza. Menurut para ahli sejarah pula, Imam
Syafi'i lahir pada tahun 150 H, yang mana pada tahun ini wafat pula seorang
ulama besar Sunni yang bernama Imam Abu Hanifah.
Nasab
Imam Syafi'i merupakan keturunan dari
al-Muththalib, jadi dia termasuk ke dalam Bani Muththalib. Nasab Beliau adalah
Muhammad bin Idris bin Al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin As-Sa’ib bin Ubaid
bin Abdi Yazid bin Hasyim bin Al-Mutthalib bin Abdulmanaf bin Qushay bin Kilab
bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin An-Nadhr bin
Kinanah bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin
Adnan. Nasabnya bertemu dengan Rasulullah di Abdul-Manaf.
Dari nasab tersebut, Al-Mutthalib bin
Abdi Manaf, kakek Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie, adalah saudara kandung
Hasyim bin Abdi Manaf kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam
.
Kemudian juga saudara kandung Abdul
Mutthalib bin Hasyim, kakek Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wasallam
, bernama Syifa’, dinikahi oleh Ubaid bin Abdi Yazid, sehingga melahirkan anak
bernama As-Sa’ib, ayahnya Syafi’. Kepada Syafi’ bin As-Sa’ib radliyallahu
`anhuma inilah bayi yatim tersebut dinisbahkan nasabnya sehingga terkenal
dengan nama Muhammad bin Idris Asy-Syafi`ie Al-Mutthalibi. Dengan demikian
nasab yatim ini sangat dekat dengan Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi
wasallam .
Bahkan karena Hasyim bin Abdi Manaf,
yang kemudian melahirkan Bani Hasyim, adalah saudara kandung dengan Mutthalib
bin Abdi manaf, yang melahirkan Bani Mutthalib, maka Rasulullah bersabda:
“ Hanyalah kami
(yakni Bani Hasyim) dengan mereka (yakni Bani Mutthalib) berasal dari satu
nasab. Sambil beliau menyilang-nyilangkan jari jemari kedua tangan beliau. ”
—HR. Abu Nu’aim Al-Asfahani dalam Hilyah nya juz 9 hal. 65 –
66
Masa belajar
Setelah ayah Imam Syafi’i meninggal
dan dua tahun kelahirannya, sang ibu membawanya ke Mekah, tanah air nenek
moyang. Ia tumbuh besar di sana dalam keadaan yatim. Sejak kecil Syafi’i cepat
menghafal syair, pandai bahasa Arab dan sastra sampai-sampai Al Ashma’i
berkata,”Saya mentashih syair-syair bani Hudzail dari seorang pemuda dari
Quraisy yang disebut Muhammad bin Idris,” Imam Syafi’i adalah imam bahasa Arab.
Belajar di Makkah
Di Makkah, Imam Syafi’i berguru fiqh
kepada mufti di sana, Muslim bin Khalid Az Zanji sehingga ia mengizinkannya
memberi fatwah ketika masih berusia 15 tahun. Demi ia merasakan manisnya ilmu,
maka dengan taufiq Allah dan hidayah-Nya, dia mulai senang mempelajari fiqih
setelah menjadi tokoh dalam bahasa Arab dan sya’irnya. Remaja yatim ini belajar
fiqih dari para Ulama’ fiqih yang ada di Makkah, seperti Muslim bin khalid
Az-Zanji yang waktu itu berkedudukan sebagai mufti Makkah.
Kemudian beliau juga belajar dari
Dawud bin Abdurrahman Al-Atthar, juga belajar dari pamannya yang bernama
Muhammad bin Ali bin Syafi’, dan juga menimba ilmu dari Sufyan bin Uyainah.
Guru yang lainnya dalam fiqih ialah
Abdurrahman bin Abi Bakr Al-Mulaiki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin Al-Ayyadl dan
masih banyak lagi yang lainnya. Dia pun semakin menonjol dalam bidang fiqih
hanya dalam beberapa tahun saja duduk di berbagai halaqah ilmu para Ulama’ fiqih
sebagaimana tersebut di atas.
Belajar di Madinah
Kemudian beliau pergi ke Madinah dan
berguru fiqh kepada Imam Malik bin Anas. Ia mengaji kitab Muwattha’ kepada Imam
Malik dan menghafalnya dalam 9 malam. Imam Syafi’i meriwayatkan hadis dari
Sufyan bin Uyainah, Fudlail bin Iyadl dan pamannya, Muhamad bin Syafi’ dan
lain-lain.
Di majelis beliau ini, si anak yatim
tersebut menghapal dan memahami dengan cemerlang kitab karya Imam Malik, yaitu
Al-Muwattha’ . Kecerdasannya membuat Imam Malik amat mengaguminya. Sementara
itu As-Syafi`ie sendiri sangat terkesan dan sangat mengagumi Imam Malik di
Al-Madinah dan Imam Sufyan bin Uyainah di Makkah.
Beliau menyatakan kekagumannya
setelah menjadi Imam dengan pernyataannya yang terkenal berbunyi: “Seandainya
tidak ada Malik bin Anas dan Sufyan bin Uyainah, niscaya akan hilanglah ilmu
dari Hijaz.” Juga beliau menyatakan lebih lanjut kekagumannya kepada Imam
Malik: “Bila datang Imam Malik di suatu majelis, maka Malik menjadi bintang di
majelis itu.” Beliau juga sangat terkesan dengan kitab Al-Muwattha’ Imam Malik
sehingga beliau menyatakan: “Tidak ada kitab yang lebih bermanfaat setelah
Al-Qur’an, lebih dari kitab Al-Muwattha’ .” Beliau juga menyatakan: “Aku tidak
membaca Al-Muwattha’ Malik, kecuali mesti bertambah pemahamanku.”
Dari berbagai pernyataan beliau di
atas dapatlah diketahui bahwa guru yang paling beliau kagumi adalah Imam Malik
bin Anas, kemudian Imam Sufyan bin Uyainah. Di samping itu, pemuda ini juga
duduk menghafal dan memahami ilmu dari para Ulama’ yang ada di Al-Madinah,
seperti Ibrahim bin Sa’ad, Isma’il bin Ja’far, Atthaf bin Khalid, Abdul Aziz
Ad-Darawardi. Ia banyak pula menghafal ilmu di majelisnya Ibrahim bin Abi
Yahya.
Tetapi sayang, guru beliau yang
disebutkan terakhir ini adalah pendusta dalam meriwayatkan hadits, memiliki
pandangan yang sama dengan madzhab Qadariyah yang menolak untuk beriman kepada
taqdir dan berbagai kelemahan fatal lainnya. Sehingga ketika pemuda Quraisy ini
telah terkenal dengan gelar sebagai Imam Syafi`ie, khususnya di akhir hayat
beliau, beliau tidak mau lagi menyebut nama Ibrahim bin Abi Yahya ini dalam
berbagai periwayatan ilmu.
Di Yaman
Imam Syafi’i kemudian pergi ke Yaman
dan bekerja sebentar di sana. Disebutkanlah sederet Ulama’ Yaman yang didatangi
oleh beliau ini seperti: Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf Al-Qadli dan
banyak lagi yang lainnya. Dari Yaman, beliau melanjutkan tour ilmiahnya ke kota
Baghdad di Iraq dan di kota ini beliau banyak mengambil ilmu dari Muhammad bin
Al-Hasan, seorang ahli fiqih di negeri Iraq. Juga beliau mengambil ilmu dari
Isma’il bin Ulaiyyah dan Abdul Wahhab Ats-Tsaqafi dan masih banyak lagi yang
lainnya.
Di Baghdad, Irak
Kemudian pergi ke Baghdad (183 dan
tahun 195), di sana ia menimba ilmu dari Muhammad bin Hasan. Ia memiliki tukar
pikiran yang menjadikan Khalifah Ar Rasyid.
Di Mesir
Imam Syafi’i bertemu dengan Ahmad bin
Hanbal di Mekah tahun 187 H dan di Baghdad tahun 195 H. Dari Imam Ahmad bin
Hanbal, Imam Syafi’i menimba ilmu fiqhnya, ushul madzhabnya, penjelasan nasikh
dan mansukhnya. Di Baghdad, Imam Syafi’i menulis madzhab lamanya (madzhab
qodim). Kemudian beliu pindah ke Mesir tahun 200 H dan menuliskan madzhab baru
(madzhab jadid). Di sana beliau wafat sebagai syuhadaul ilm di akhir bulan
Rajab 204 H.
Karya tulis
Ar-Risalah
Salah satu karangannya adalah “Ar
Risalah” buku pertama tentang ushul fiqh dan kitab “Al Umm” yang berisi madzhab
fiqhnya yang baru. Imam Syafi’i adalah seorang mujtahid mutlak, imam fiqh,
hadis, dan ushul. Ia mampu memadukan fiqh ahli Irak dan fiqh ahli Hijaz. Imam
Ahmad berkata tentang Imam Syafi’i,”Beliau adalah orang yang paling faqih dalam
Al Quran dan As Sunnah,” “Tidak seorang pun yang pernah memegang pena dan tinta
(ilmu) melainkan Allah memberinya di ‘leher’ Syafi’i,”.
Thasy Kubri mengatakan di Miftahus
sa’adah,”Ulama ahli fiqh, ushul, hadits, bahasa, nahwu, dan disiplin ilmu
lainnya sepakat bahwa Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adaalah
(kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, tingkah lakunya
yang baik, derajatnya yang tinggi. Orang yang banyak menyebutkan perjalanan
hidupnya saja masih kurang lengkap,”
Mazhab Syafi'i
Dasar madzhabnya: Al Quran, Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas. Beliau juga tidak mengambil Istihsan (menganggap baik suatu
masalah) sebagai dasar madzhabnya, menolak maslahah mursalah, perbuatan
penduduk Madinah. Imam Syafi’i mengatakan,”Barangsiapa yang melakukan istihsan
maka ia telah menciptakan syariat,”. Penduduk Baghdad mengatakan,”Imam Syafi’i
adalah nashirussunnah (pembela sunnah),”
Al-Hujjah
Kitab “Al Hujjah” yang merupakan
madzhab lama diriwayatkan oleh empat imam Irak; Ahmad bin Hanbal, Abu Tsaur,
Za’farani, Al Karabisyi dari Imam Syafi’i.
Al-Umm
Sementara kitab “Al Umm” sebagai
madzhab yang baru Imam Syafi’i diriwayatkan oleh pengikutnya di Mesir; Al
Muzani, Al Buwaithi, Ar Rabi’ Jizii bin Sulaiman. Imam Syafi’i mengatakan
tentang madzhabnya,”Jika sebuah hadits shahih bertentangan dengan perkataanku,
maka ia (hadis) adalah madzhabku, dan buanglah perkataanku di belakang tembok,”
“Sekian Dan Semoga Bermanfaat”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar