Daya
saing merupakan salah satu kriteria yang menentukan keberhasilan suatu negara
dalam perdagangan internasional. Berdasarkan badan pemeringkat daya saing
dunia, IMDWorld Competitiveness Yearbook 2006, posisi daya saing Indonesia
dalam beberapa tahun semakin menurun. IMDWorld Competitiveness Yearbook (WCY)
adalah sebuah laporan mengenai daya saing negara yang dipublikasikan sejak
tahun 1989.
Pada
tahun 2000, posisi daya saing Indonesia menduduki peringkat 43 dari 49 negara.
Tahun 2001 posisi daya saing Indonesia semakin menurun, yaitu menduduki
peringkat 46. Selanjutnya, tahun 2002 posisi daya saingnya masih menduduki
posisi bawah, yaitu peringkat 47. Lalu, tahun 2003, posisi daya saingnya malah
makin terpuruk, yaitu menduduki peringkat 57. Tahun 2004 menduduki peringkat
58. Tahun 2005 Indonesia menduduki posisi 58. Tahun 2006 Indonesia telah
menduduki posisi 60.
Selama
lima tahun terakhir (2005-2009) pertumbuhan ekspor Indonesia cenderung
meningkat sebesar 20% pertahun, begitu pula pertumbuhan impor cenderung
meningkat sebesar 9,7% pertahun. Pada Tahun 2009 Indonesia menduduki peringkat
ke-29 dalam ekspor dunia dan posisi ke-28 dalam impor dunia. Selama tahun 2009,
sektor Industri menyumbang 75,3%, pertambangan 20,2% dan pertanian 4,5 %
terhadap total eskpor Indonesia. Negara yang menjadi mitra Dagang utama
Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat Singapura, RRT dan India
Indonesia
telah mengalami kemajuan yang mantap dalam penerapan reformasi perdagangan pada
beberapa tahun terakhir dan hal itu merupakan salah satu dari beberapa faktor
yang membantu berkembangnya penyerapan tenaga kerja di sektor resmi, memangkas
tingkat kemiskinan dan mengembangkan tingkat menengah penduduk Indonesia.
Selain itu, Indonesia lebih beruntung dibanding negara-negara tetangganya
dengan berhasil melewati krisis keuangan dunia secara relatif mulus.
Hal
ini memberikan kesempatan yang unik bagi Indonesia pasca krisis untuk
meningkatkan penjualan dalam negeri dan pangsa pasar dunianya. Untuk meraih
kesempatan ini sebaik-baiknya, Indonesia harus terus mendorong reformasi
perdagangan dan menghindari protektionisme yang akan menghambat efisiensi dan
inovasi. Selain Indonesia, hanya Hong Kong dan Cina saja yang pada tahun 2010
berhasil mengembalikan nilai perdagangan internasionalnya ke tingkat absolut
pra-krisis keuangan dunia.
Walaupun
pertumbuhan ekspor komoditas berbasis sumber daya meningkat tajam, Indonesia
hanya mencatat kemajuan yang terbatas dalam meningkatkan ekspor produk-produk
manufaktur dan terproses. Produsen-produsen Indonesia telah menyuarakan
keprihatinan akan daya saing mereka melawan produsen berbiaya rendah, baik di
dalam negeri maupun di pasar asing. Penurunan pertumbuhan bidang manufaktur dan
menyurutnya pangsa ekspor sektor manufaktur juga menimbulkan tanda tanya mengenai
daya saing sektor manufaktur Indonesia.
Satu
bidang yang memberati perdagangan sehingga menurunkan daya saing produk-produk
Indonesia dibanding produk impor luar negeri adalah rendahnya tingkat hubungan
perdagangan Indonesia yang merupakan akibat dari buruknya sistem logistiknya.
Hubungan perdagangan adalah masalah yang memberikan tantangan yang berbeda
bergantung pada apakah hambatannya mempengaruhi hubungan perdagangan
internasional, antar pulau atau dalam pulau. Tingginya biaya transportasi
barang-barang bernilai tinggi seperti udang dari belahan Timur Indonesia ke
pusat-pusat pemrosesan di pulau Jawa melambungkan harga mereka ke titik yang
terlalu mahal untuk diekspor, dan juga lebih murah untuk mengimpor buah jeruk
dari Cina dibanding mengirimkannya dari pulau Kalimantan ke pulau Jawa. Itulah
beberapa contoh buruknya efisiensi dalam perdagangan antar pulau.
Contoh
tingginya biaya logistik dalam pulau termasuk parahnya kemacetan di pulau Jawa,
terutama di Jabotabek, dan juga buruknya kualitas jalan di luar pulau Jawa,
yang secara keseluruhan menempatkan biaya transportasi darat di Indonesia lebih
tinggi dari rata-rata biaya di Asia. Buruknya kinerja pelabuhan-pelabuhan utama
di Jakarta dan Surabaya, karena rendahnya produktivitas pelabuhan dan tidak penuhnya
penerapan National Single Window (NSW), juga merintangi hubungan perdagangan
internasional.
Tingginya
biaya dan ketidakpastian jalur transportasi domestik tersebut juga menghalangi
Indonesia untuk lebih terintegrasi ke dalam jaringan produksi persediaan-minim
(just-in-time) produk-produk yang bernilai tinggi. Perijinan dan harga yang
diatur oleh pemerintah menurunkan insentif untuk berinvestasi dalam layanan
yang lebih baik dan membatasi persaingan antara perusahaan-perusahaan
pengiriman darat dan laut di dalam negeri. Pembatasan investasi asing di bidang
logistik makin memperburuk keadaan dengan terbatasnya akses terhadap teknologi
baru.
Sementara
Indonesia telah membuat kemajuan dalam meningkatkan tingkat efisiensi pelabuhan
dan bea cukai, masih dibutuhkan peningkatan lebih lanjut. Rata-rata waktu
tunggu kontainer impor di terminal utama kontainer adalah lima hari, dibanding
kurang dari tiga hari pada kebanyakan pelabuhan-pelabuhan di wilayah tersebut.
Impor kontainer kosong selesai kurang dari setengah lamanya waktu yang
dibutuhkan kontainer yang penuh, menunjukkan bahwa sebagian besar penundaan
disebabkan oleh pengawas perbatasan dan prosedur pemeriksaan dan bukan karena
tidak memadainya prasarana.
Prosedur-prosedur
administratif yang membebani dan tidak jelas juga turut memperburuk penundaan
impor dan mengundang korupsi, sehingga menurunkan daya saing industri-industri
yang menggunakan komponen impor. Selain itu, walaupun Indonesia memiliki
ekonomi yang sangat terbuka dalam hal tarif, halangan non-tarif-nya tetaplah
berarti dan belakangan ini terjadi peningkatan yang mencemaskan dalam halangan
non-tarif tersebut.
“Sekian dan Semoga Bermanfaat”
Sumber:
Ø http://www.kemendag.go.id/id/faq
Ø http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAINBAHASAEXTN/0,,contentMDK:22757318~pagePK:1497618~piPK:217854~theSitePK:447244,00.html
Ø http://wmurtiyasni.blogspot.com/2012/05/peranan-indonesia-dalam-perdagangan.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar