Hutang luar negeri pemerintah Indonesia merupakan
pinjaman dari pihak-pihak asing seperti negara sahabat, lembaga internasional
(IMF, World Bank, ADB), pihak lain yang bukan penduduk Indonesia. Bentuk hutang
yang diterima dapat berupa dana, barang atau jasa. Berbentuk barang bila
pemerintah membeli barang modal ataupun peralatan perang yang dibayar secra
kredit. Berbentuk jasa sebagian besar berupa kehadiran tenaga ahli dari pihak
kreditur untuk memberikan jasa konsultasi pada bidang-bidang tertentu yang
lebih dikenal dengan Technical Assistance.
Karena bantuan luar negeri banyak harus dibayar
kembali maka umumnya disebut juga utang luar negeri. Bank dunia
mengklasifikasikan total utang kredit IMF. Utang jangka pendek adalah utang
dengan jatuh tempo satu tahun atau kurang. Utang jangka panjang umumnya
berjangka waktu lebih dari satu tahun. Penggunaan kredit IMF merupakan
kewajiban yang dapat dibeli kembali (repurchase obligations) atas semua
penggunaan fasilitas IMF.
Utang yang berjangka panjang dapat diperinci menurut
jenis utangnya, yaitu utang swasta yang tidak dijamin oleh pernerintah (public
and publicly guaranteed debt). Utang swasta yang non guaranteed debt adalah
utang yang dilakukan oleh debitur swasta, di mana utang tersebut tidak dijamin
oleh institusi pernerintah. Di lain pihak, utang pernerintah adalah utang yang
dilakukan oleh suatu institusi pemerintah, termasuk pernerintah pusat,
departemen, dan lembaga pernerintah yang otonom.
Utang yang publicly guaranted merupakan utang yang
dilakukan oleh debitur swasta namun dijamin pembayaramiya oleh suatu lembaga
pemerintah. Bagi kebanyakan negara berkembang, jenis utang yang public and
publicly guaranteed yang perlu lebih mendapat perhatian karena apabila negara
berkembang tidak mampu membayar kembali utang tersebut maka pemerintah negara
tersebutlah yang menangung akibatnya. Resiko ini tidak dijumpai untuk kategori
utang swasta yang tidak dijamin oleh pemerintah karena swastalah yang harus
menanggung akibatnya.
Pinjaman luar negeri akan menimbulkan masalah jika
dana tersebut tidak diinvestasikan secara produktif untuk kegiatan-kegiatan
yang menghasilkan tingkat pengembalian devisa yang tinggi untuk menutupi
pembayaran bunga. Krisis utang dunia yang terjadi pada dekade 80-an menjadi
bukti bahayanya pembiayaan melalui utang luar negeri di mana banyak negara
terpaksa menunda kewajiban membayar utang (Weiss, 1995).
Pengaruh eksternal bukan satu-satunya penyebab
krisis, kebijaksanaan pemerintah yang tidak terarah juga bisa dianggap mempunyai
pengaruh terhadap krisis ekonomi (Gillis et.al, 1996). Gairah untuk mencapai
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang banyak mempengaruhi
kebijaksanaan pemerintah melalui peningkatan pengeluaran pemerintah, sehingga
menimbulkan defisit anggaran yang semakin membesar. Dalam kondisi perekonomian
yang tidak stabil, investor swasta menanamkan dananya pada usaha-usaha non-produktif,
seperti tanah, atau menginventasikannya di luar negeri yang menimbulkan defisit
eksternal.
Sejak tahun 1960-an hingga sekarang, studi-studi
empiris mengenai pengaruh utang luar negeri dan berbagai tipe modal asing
lainnya terhadap pertumbulian ekonomi dan atau tabungan di suatu negara terus
berlangsung (Rana, 1987 ; Rachbini, 1995 : ix). Di satu sisi, dari tahun ke tahun
studi-studi tersebut terus mengalami perkembangan, baik dalam permodelan maupun
metodologi penelitian. Di sisi lain, penelitian-penelitian yang ada ternyata
menimbulkan perdebatan yang tak kunjung usai.
Asal Hutang Luar Negeri
Utang yang tergolong public and publicly guaranted
dapat diperinci menurut krediturnya. Selama ini pihak kreditur (pihak yang
memberikan utang) dapat berasal dari sumber resmi maupun swasta. Utang luar
negeri yang berasal dari sumber resmi dibagi menjadi :
1. Bilateral
Pinjaman bilateral adalah setiap
penerimaan negara baik dalam bentuk devisa maupun dalam bentuk barang atau
jasa. yang diperoleh dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang berasal dari
pemerintah suatu negara melalui suatu lembaga/badan keuangan yang dibentuk oleh
pemerintah negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemberian pinjaman yang
harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. Dari segi jenisnya,
pinjaman/hibah bilateral dapat dibedakan dalam :
Ø Hibah (grant), yaitu penerimaan negara baik dalam
bentuk devisa maupun barang/jasa yang tidak perlu dibayar kembali. Hibah
digunakan untuk pembiayaan proyek, namun khusus hibah dalam bentuk devisa dapat digunakan untuk bantuan
program. Hibah yang diterima pemerintah
saat ini berasal dari pemerintah Inggris, Australia, selandia Baru dan Kanada.
Ø Pinjaman Lunak (soft loan), yaitu pinjaman yang
disetujui oleh negara donor dengan persyaratan Grant Element minimum dengan
bunga pinjaman sebesar 3,5% atau kurang,
jangka waktu pengembalian 25 tahun atau lebih, termasuk tenggang waktu 7 tahun
lebih. Pinjaman ini umumnya digunakan untuk pembiayaan proyek dan bantuan
program.
Dalam praktiknya pinjaman lunak tersebut dapat
diperoleh pula dari gabungan antara pinjaman komersial atau fasilitas kredit
ekspor dengan pinjaman lunak. Yang terpenting gabungan dari sumber-sumber
pinjaman tersebut akan menghasilkan persyaratan pinjaman lunak sesuai dengan
Inpres No. 8/1984. Bentuk pinjaman ini disebut blending.
2. Multilateral
Pinjaman miiltilateral adalah
setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa maupun dalam bentuk
barang/jasa yang diperoleh dari pemberian Pinjaman Luar Negeri yang berasal
dari lembaga keuangan internasional maupun regional dan biasanya Indonesia
merupakan anggota dari lembaga keuangan
tersebut.
Pinjaman setengah lunak, yaitu
pinjaman yang persyaratannya lebih mahal
(lebih berat) dari pinjaman lunak tetapi masih lebih lunak dari
fasilitas kredit ekspor. Pinjaman bentuk ini pada umumna merupakan gabungan
dari pinjaman lunak dengan fasilitas :ekspor atau pinjaman komersial. Bentuk
pinjaman ini disebut Credit yang persyaratannya tidak mengikuti ODA terms and
wis.
Pinjaman (Mixed Credit) ini yang
pertama menawarkan Indonesia adalah negara Perancis, kemudian diikuti oleh
Negara Jerman (KFW) dan kernudian oleh
negara Inggris. Pinjaman ini dimanfaatkan Indonesia saat ini karena sejak
Indonesia naik peringkatnya dari non industrialized country menjadi semi
industri country, pada akhir Repelita III sudah agak sukar memperoleh pinjaman
bersyarat lunak (ODA terms and Conditions).
Salah satu komponen penting dari
arus modal masuk yang banyak mendapat perhatian literatur mengenai pembangunan
ekonomi di negara berkembang adalah utang luar negeri. Isu ini juga menjadi
sangat penting bagi Indonesia saat ini, sejak krisis ekonomi nyaris membuat
Indonesia bangkrut secara finansial, karena jumlah utang luar negerinya
terutama dari swasta sangat besar, ditambah lagi dengan ketidakmampuan sebagian
besar dari perusahaan-perusahaan dalam negeri untuk membayar kembali ULN
mereka.
Sejak krisis ULN terjadi pada awal
1980-an, masalah ULN yang dialami oleh banyak Negara berkembang tidak semakin
baik. Banyak Negara berkembang semakin terjerumus ke dalam krisis ULN sampai
negara-negara pengutang besar terpaksa melakukan program-program penyesuaian struktural
terhadap ekonomi dalam negeri mereka atas desakan dari Bank Dunia dan IMF
sebagai syarat utama untuk mendapatkan pinjaman baru atau pengurangan terhadap
pinjaman lama.
Tingginya ULN dari banyak Negara
berkembang disebabkan oleh faktor-faktor berikut :
1. Defisit Transaksi Berjalan
2. Kebutuhan dana untuk membiayai S-I gap
(saving-investment gap) yang negatif
3. Tingkat inflasi yang tinggi
4. Ketidakefisiensinya struktural di dalam
perekonomian.
Dari faktor-faktor tersebut, defisit transaksi
berjalan sering disebut di dalam literatur sebagai penyebab utama membengkaknya
ULN dari Negara berkembang. Besarnya defisit transaksi berjalan melebihi
surplus neraca modal (jika saldonya memang positif) membuat defisit Neraca
Pembayaran yang berarti juga cadangan devisa berkurang. Apabila saldo transaksi
berjalan setiap tahun negatif, maka cadangan devisa dengan sendirinya akan
habis jika tidak ada sumber-sumber lain (misalnya dari arus modal masuk),
seperti yang dialami oleh negara-negara paling miskin di benua Afrika.
Padahal devisa sangat dibutuhkan terutama untuk
membiayai impor barang-barang modal dan pembantu untuk kebutuhan kegiatan
produksi dalam negeri.
Dari uraian-uraian di atas, dapat dimengerti bahwa
defisit Transaksi Berjalan yang terjadi terus menerus membuat banyak Negara
berkembang harus tetap bergantug pada pinjaman dari luar negeri, terutama
negara-negara yang kondisi ekonomi dalam negerinya tidak menggairahkan
investor-investor asing, sehingga sulit bagi negara-negara tersebut untuk
mrnsubstitusikan pinjaman luar negeri dengan investasi, misalnya dalam bentuk
penanaman modal asing.
Sejak pemerintahan Orde Baru hingga saat ini,
tingkat ketergantungan Indonesia pada pinjaman luar negeri tidak pernah
menyurut, bahkan mengalami suatu akselerasi yang pesat sejak krisis ekonomi,
karena Indonesia membuat ULN yang baru dalam jumlah yang besar dari IMF untuk
membiayai proses pemulihan ekonomi. Pada masa normal selama pemerintahan
Soeharto, ULN dibutuhkan terutama untuk membiayai S-I gap (saving-investment
gap), defisit transaksi berjalan (trade gap), dan beberapa komponen dari sisi G
di dalam APBN atau defisit keuangan pemerintah (fiscal gap).
Menurut Sachs (1981, 1982) negara yang mempunyai
masalah dalam pelunasan utang luar negerinya cenderung untuk tidak menunda
pembayaran utangnya karena pilihan menunda akan menghadapi risiko gangguan
dalam perdagangan internasional dan arus modal masuk. Oleh karena itu, kenaikan
dalam pelunasan utang cenderung menaikan ULN. Selain itu, permintaan ULN juga
ditentukan oleh tingkat suku bunga di pasar uang internasional atau lebih
tepatnya spread, yaitu margin di atas LIBOR (London Interbank Offered Rate).
Idealnya, jika sebuah negara telah mencapai suatu
tingkat pembangunan tertentu atau pada fase terakhir dari proses pembangunan,
ketergantungan negar tersebut terhadap pinjaman luar negeri akan lebih rendah
dibandingkan dengan periode pada saat negara itu baru mulai membangun.
Proksi yang umum digunakan untuk mengukur tingkat
pembangunan sebuah negara adalah tingkat Y (atau PDB) dalam nilai riil per
kapita, sedangkan indikator-indikator makro yang umum digunakan utnuk mengukur
tingkat ketergantungan sebuah negara terhadap bantuan atau ULN adalah misalnya
rasio ULN-PDB, atau rasio ULN terhadap nilai total dari perdagangan luar negeri
(X+M) atau terhadap nilai ekspor.
“Sekian dan Semoga Bermanfaat”
Sumber:
Ø http://nanxsu.blog.com/2011/06/27/neraca-pembayaran-arus-modal-asing-dan-utang-luar-negeri/