Rabu, 29 April 2015

Utang Luar Negeri (ULN)

Hutang luar negeri pemerintah Indonesia merupakan pinjaman dari pihak-pihak asing seperti negara sahabat, lembaga internasional (IMF, World Bank, ADB), pihak lain yang bukan penduduk Indonesia. Bentuk hutang yang diterima dapat berupa dana, barang atau jasa. Berbentuk barang bila pemerintah membeli barang modal ataupun peralatan perang yang dibayar secra kredit. Berbentuk jasa sebagian besar berupa kehadiran tenaga ahli dari pihak kreditur untuk memberikan jasa konsultasi pada bidang-bidang tertentu yang lebih dikenal dengan Technical Assistance.
Karena bantuan luar negeri banyak harus dibayar kembali maka umumnya disebut juga utang luar negeri. Bank dunia mengklasifikasikan total utang kredit IMF. Utang jangka pendek adalah utang dengan jatuh tempo satu tahun atau kurang. Utang jangka panjang umumnya berjangka waktu lebih dari satu tahun. Penggunaan kredit IMF merupakan kewajiban yang dapat dibeli kembali (repurchase obligations) atas semua penggunaan fasilitas IMF.
Utang yang berjangka panjang dapat diperinci menurut jenis utangnya, yaitu utang swasta yang tidak dijamin oleh pernerintah (public and publicly guaranteed debt). Utang swasta yang non guaranteed debt adalah utang yang dilakukan oleh debitur swasta, di mana utang tersebut tidak dijamin oleh institusi pernerintah. Di lain pihak, utang pernerintah adalah utang yang dilakukan oleh suatu institusi pemerintah, termasuk pernerintah pusat, departemen, dan lembaga pernerintah yang otonom.
Utang yang publicly guaranted merupakan utang yang dilakukan oleh debitur swasta namun dijamin pembayaramiya oleh suatu lembaga pemerintah. Bagi kebanyakan negara berkembang, jenis utang yang public and publicly guaranteed yang perlu lebih mendapat perhatian karena apabila negara berkembang tidak mampu membayar kembali utang tersebut maka pemerintah negara tersebutlah yang menangung akibatnya. Resiko ini tidak dijumpai untuk kategori utang swasta yang tidak dijamin oleh pemerintah karena swastalah yang harus menanggung akibatnya.
Pinjaman luar negeri akan menimbulkan masalah jika dana tersebut tidak diinvestasikan secara produktif untuk kegiatan-kegiatan yang menghasilkan tingkat pengembalian devisa yang tinggi untuk menutupi pembayaran bunga. Krisis utang dunia yang terjadi pada dekade 80-an menjadi bukti bahayanya pembiayaan melalui utang luar negeri di mana banyak negara terpaksa menunda kewajiban membayar utang (Weiss, 1995).
Pengaruh eksternal bukan satu-satunya penyebab krisis, kebijaksanaan pemerintah yang tidak terarah juga bisa dianggap mempunyai pengaruh terhadap krisis ekonomi (Gillis et.al, 1996). Gairah untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang banyak mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah melalui peningkatan pengeluaran pemerintah, sehingga menimbulkan defisit anggaran yang semakin membesar. Dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil, investor swasta menanamkan dananya pada usaha-usaha non-produktif, seperti tanah, atau menginventasikannya di luar negeri yang menimbulkan defisit eksternal.
Sejak tahun 1960-an hingga sekarang, studi-studi empiris mengenai pengaruh utang luar negeri dan berbagai tipe modal asing lainnya terhadap pertumbulian ekonomi dan atau tabungan di suatu negara terus berlangsung (Rana, 1987 ; Rachbini, 1995 : ix). Di satu sisi, dari tahun ke tahun studi-studi tersebut terus mengalami perkembangan, baik dalam permodelan maupun metodologi penelitian. Di sisi lain, penelitian-penelitian yang ada ternyata menimbulkan perdebatan yang tak kunjung usai.
Asal Hutang Luar Negeri
Utang yang tergolong public and publicly guaranted dapat diperinci menurut krediturnya. Selama ini pihak kreditur (pihak yang memberikan utang) dapat berasal dari sumber resmi maupun swasta. Utang luar negeri yang berasal dari sumber resmi dibagi menjadi :
1.      Bilateral
Pinjaman bilateral adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa maupun dalam bentuk barang atau jasa. yang diperoleh dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang berasal dari pemerintah suatu negara melalui suatu lembaga/badan keuangan yang dibentuk oleh pemerintah negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemberian pinjaman yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. Dari segi jenisnya, pinjaman/hibah bilateral dapat dibedakan dalam :
Ø  Hibah (grant), yaitu penerimaan negara baik dalam bentuk devisa maupun barang/jasa yang tidak perlu dibayar kembali. Hibah digunakan untuk pembiayaan proyek, namun khusus hibah dalam  bentuk devisa dapat digunakan untuk bantuan program. Hibah yang diterima  pemerintah saat ini berasal dari pemerintah Inggris, Australia, selandia Baru dan Kanada.
Ø  Pinjaman Lunak (soft loan), yaitu pinjaman yang disetujui oleh negara donor dengan persyaratan Grant Element minimum dengan bunga pinjaman sebesar  3,5% atau kurang, jangka waktu pengembalian 25 tahun atau lebih, termasuk tenggang waktu 7 tahun lebih. Pinjaman ini umumnya digunakan untuk pembiayaan proyek dan bantuan program.
Dalam praktiknya pinjaman lunak tersebut dapat diperoleh pula dari gabungan antara pinjaman komersial atau fasilitas kredit ekspor dengan pinjaman lunak. Yang terpenting gabungan dari sumber-sumber pinjaman tersebut akan menghasilkan persyaratan pinjaman lunak sesuai dengan Inpres No. 8/1984. Bentuk pinjaman ini disebut blending.
2.      Multilateral
Pinjaman miiltilateral adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa maupun dalam bentuk barang/jasa yang diperoleh dari pemberian Pinjaman Luar Negeri yang berasal dari lembaga keuangan internasional maupun regional dan biasanya Indonesia merupakan  anggota dari lembaga keuangan tersebut.
Pinjaman setengah lunak, yaitu pinjaman yang persyaratannya lebih mahal  (lebih berat) dari pinjaman lunak tetapi masih lebih lunak dari fasilitas kredit ekspor. Pinjaman bentuk ini pada umumna merupakan gabungan dari pinjaman lunak dengan fasilitas :ekspor atau pinjaman komersial. Bentuk pinjaman ini disebut Credit yang persyaratannya tidak mengikuti ODA terms and wis.
Pinjaman (Mixed Credit) ini yang pertama menawarkan Indonesia adalah negara Perancis, kemudian diikuti oleh Negara Jerman  (KFW) dan kernudian oleh negara Inggris. Pinjaman ini dimanfaatkan Indonesia saat ini karena sejak Indonesia naik peringkatnya dari non industrialized country menjadi semi industri country, pada akhir Repelita III sudah agak sukar memperoleh pinjaman bersyarat lunak (ODA terms and Conditions).
Salah satu komponen penting dari arus modal masuk yang banyak mendapat perhatian literatur mengenai pembangunan ekonomi di negara berkembang adalah utang luar negeri. Isu ini juga menjadi sangat penting bagi Indonesia saat ini, sejak krisis ekonomi nyaris membuat Indonesia bangkrut secara finansial, karena jumlah utang luar negerinya terutama dari swasta sangat besar, ditambah lagi dengan ketidakmampuan sebagian besar dari perusahaan-perusahaan dalam negeri untuk membayar kembali ULN mereka.
Sejak krisis ULN terjadi pada awal 1980-an, masalah ULN yang dialami oleh banyak Negara berkembang tidak semakin baik. Banyak Negara berkembang semakin terjerumus ke dalam krisis ULN sampai negara-negara pengutang besar terpaksa melakukan program-program penyesuaian struktural terhadap ekonomi dalam negeri mereka atas desakan dari Bank Dunia dan IMF sebagai syarat utama untuk mendapatkan pinjaman baru atau pengurangan terhadap pinjaman lama.
Tingginya ULN dari banyak Negara berkembang disebabkan oleh faktor-faktor berikut :
1.      Defisit Transaksi Berjalan
2.      Kebutuhan dana untuk membiayai S-I gap (saving-investment gap) yang negatif
3.      Tingkat inflasi yang tinggi
4.      Ketidakefisiensinya struktural di dalam perekonomian.
Dari faktor-faktor tersebut, defisit transaksi berjalan sering disebut di dalam literatur sebagai penyebab utama membengkaknya ULN dari Negara berkembang. Besarnya defisit transaksi berjalan melebihi surplus neraca modal (jika saldonya memang positif) membuat defisit Neraca Pembayaran yang berarti juga cadangan devisa berkurang. Apabila saldo transaksi berjalan setiap tahun negatif, maka cadangan devisa dengan sendirinya akan habis jika tidak ada sumber-sumber lain (misalnya dari arus modal masuk), seperti yang dialami oleh negara-negara paling miskin di benua Afrika.
Padahal devisa sangat dibutuhkan terutama untuk membiayai impor barang-barang modal dan pembantu untuk kebutuhan kegiatan produksi dalam negeri.
Dari uraian-uraian di atas, dapat dimengerti bahwa defisit Transaksi Berjalan yang terjadi terus menerus membuat banyak Negara berkembang harus tetap bergantug pada pinjaman dari luar negeri, terutama negara-negara yang kondisi ekonomi dalam negerinya tidak menggairahkan investor-investor asing, sehingga sulit bagi negara-negara tersebut untuk mrnsubstitusikan pinjaman luar negeri dengan investasi, misalnya dalam bentuk penanaman modal asing.
Sejak pemerintahan Orde Baru hingga saat ini, tingkat ketergantungan Indonesia pada pinjaman luar negeri tidak pernah menyurut, bahkan mengalami suatu akselerasi yang pesat sejak krisis ekonomi, karena Indonesia membuat ULN yang baru dalam jumlah yang besar dari IMF untuk membiayai proses pemulihan ekonomi. Pada masa normal selama pemerintahan Soeharto, ULN dibutuhkan terutama untuk membiayai S-I gap (saving-investment gap), defisit transaksi berjalan (trade gap), dan beberapa komponen dari sisi G di dalam APBN atau defisit keuangan pemerintah (fiscal gap).
Menurut Sachs (1981, 1982) negara yang mempunyai masalah dalam pelunasan utang luar negerinya cenderung untuk tidak menunda pembayaran utangnya karena pilihan menunda akan menghadapi risiko gangguan dalam perdagangan internasional dan arus modal masuk. Oleh karena itu, kenaikan dalam pelunasan utang cenderung menaikan ULN. Selain itu, permintaan ULN juga ditentukan oleh tingkat suku bunga di pasar uang internasional atau lebih tepatnya spread, yaitu margin di atas LIBOR (London Interbank Offered Rate).
Idealnya, jika sebuah negara telah mencapai suatu tingkat pembangunan tertentu atau pada fase terakhir dari proses pembangunan, ketergantungan negar tersebut terhadap pinjaman luar negeri akan lebih rendah dibandingkan dengan periode pada saat negara itu baru mulai membangun.
Proksi yang umum digunakan untuk mengukur tingkat pembangunan sebuah negara adalah tingkat Y (atau PDB) dalam nilai riil per kapita, sedangkan indikator-indikator makro yang umum digunakan utnuk mengukur tingkat ketergantungan sebuah negara terhadap bantuan atau ULN adalah misalnya rasio ULN-PDB, atau rasio ULN terhadap nilai total dari perdagangan luar negeri (X+M) atau terhadap nilai ekspor.
“Sekian dan Semoga Bermanfaat”
                                       
Sumber:

Ø  http://nanxsu.blog.com/2011/06/27/neraca-pembayaran-arus-modal-asing-dan-utang-luar-negeri/

Pengertian Modal Asing

Pengertian Penanaman Modal Asing dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1967 ditegaskan bahwa Pengertian penanaman modal asing di dalam Undang-undang ini hanyalah meliputi penanaman modal asing secara langsung yang dilakukan menurut atau berdasarkan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini dan yang digunakan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, dalam arti bahwa pemilik modal secara langsung menanggung risiko dari penanaman modal tersebut.
Pengertian modal asing dalam Undang-undang ini menurut pasal 2 adalah :
1.      Alat pembayaran luar negeri yang tidak merupakan bagian dari kekayaan devisa Indonesia, yang dengan persetujuan Pemerintah digunakan untuk pembiayaan perusahaan di Indonesia.
2.      Alat-alat untuk perusahaan, termasuk penemuan-penemuan baru milik orang asing dan bahan-bahan, yang dimasukkan dari luar ke dalam wilayah Indonesia, selama alat-alat terse-but tidak dibiayai dari kekayaan devisa Indonesia.
Bagian dari hasil perusahaan yang berdasarkan Undang-undang ini diperkenankan ditransfer, tetapi dipergunakan untuk membiayai perusahaan di Indonesia. Adapun modal asing dalam Undang-undang ini tidak hanya berbentuk valuta asing, tetapi meliputi pula alat-alat perlengkapan tetap yang diperlukan untuk menjalankan perusahaan di Indonesia, penemuan-penemuan milik orang/badan asing yang dipergunakan dalam perusahaan di Indonesia dan keuntungan yang boleh ditransfer ke luar negeri tetapi dipergunakan kembali di Indonesia.
Sehubungan dengan arus modal, dapat kiranya dipahami bahwa untuk melakukan transaksi perdagangan barang internasional di satu pihak tertentu diperlukan modal internasional dan di lain pihak transaksi tersebut menghasilkan keuntungan yang akhirnya akan terakumulasi menjadi modal baru yang akan di investasikan lagi untuk meningkatkan keuntungan.
Secara umum arus modal asing dapat bersifat hal berikut : (Hady, 2001:92-93)
1.      Portofolio Investment, yaitu arus modal internasional dalam bentuk investasi aset-aset finansial, seperti saham (stock), obligasi (bond), dan commercial papers. Arus portofolio inilah yang saat ini paling banyak dan cepat mengalir ke seluruh penjuru dunia melalui pasar uang dan pasar modal di pusat-pusat keuangan internasional, seperti New York, London, Paris, Frankfurt, Tokyo, Hongkong, Singapura.
2.      Direct Investment, yaitu investasi riil dalam bentuk pendirian perusahaan, pembangunan pabrik, pembelian barang modal, tanah, bahan baku, dan persediaan di mana investor terlibat langsung dalam manajemen perusahaan dan mengontrol penanaman modal tersebut. Direct investment ini biasanya dimulai dengan pendirian subsidiary atau pembelian saham mayoritas dari suatu perusahaan. Dalam konteks internasional, bentuk investasi ini biasanya dilakukan oleh perusahaan multinasional (MNC) dengan operasi di bidang manufaktur, industri pengolahan, ekstraksi sumber alam, industri jasa, dan sebagainya.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aliran Modal Asing
Pada umumnya faktor-faktor utama yang menyebabkan terjadinya aliran modal, skill dan teknologi dari negara maju ke negara berkembang, pada dasarnya dipengaruhi oleh lima (5) Faktor-faktor utama.
Adapun Faktor-faktor yang dimaksud, yaitu meliputi :
1.      Adanya iklim penanaman modal dinegara-negara penerima modal itu sendiri yang mendukung keamanan berusaha (risk country), yang ditunjukkan oleh stabilitas politik serta tingkat perkembangan ekonomi dinegara penerima modal.
2.      Prospek perkembangan usaha di negara penerima modal.
3.      Tersedianya prasarana dan sarana yang diperlukan.
4.      Tersedianya bahan baku, tenaga kerja yang relatif murah serta potensi pasar dalam negara penerima modal.
5.      Aliran modal pada umumnya cenderung mengalir kepada negara-negara yang tingkat pendapatan nasionalnya per  kapita relatif tinggi
Secara umum dapat dikatakan terdapat hubungan ketidakseimbangan  antara  negara maju sebagai pembawa modal dengan negara berkembang sebagai penerima modal. Hubungan tidak seimbang tersebut disebabkan oleh beberapa hal utama (Streeten, 1980 : 251),  yaitu :
·         Pemodal asing selalu mencari keuntungan (profit oriented), sedangkan negara penerima modal mengharapkan bahwa modal asing tersebut dapat membantu tujuan pembangunan ekonomi nasional atau sebagai pelengkap dana pembangunan.
·         Pemodal asing memiliki posisi yang lebih kuat, sehingga mereka mempunyai kemampuan berusaha dan kemampuan berunding yang lebih baik.
·         Pemodal asing biasanya memiliki jaringan usaha yang kuat dan luas, yaitu dalam bentuk Multinasional Corporation. Perusahaan ini pada dasarnya lebih mengutamakan melayani kepentingan negara dan pemilik saham di negara asal daripada kepentingan negara penerima modal.
Tentunya ketidakseimbangan tersebut menjadi tantangan bagi negara-negara penerima modal asing termasuk Indonesia, yaitu bagaimana mengatasi ketidakseimbangan yang dimaksud dalam rangka usaha menarik investor asing. Dalam menghadapi tantangan yang dimaksud negara penerima modal asing pada umumnya dan Indonesia khususnya harus dapat mengupayakan melalui hal-hal sebagai berikut :
Dapat mengakomodasi motif profit oriented dari pemodal asing dengan sebaik-baiknya, sehingga filosofi sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang PMA yang mengatakan bahwa masuknya modal asing hanyalah bersifat pelengkap dana pembangunan tidak menjadi suatu kendala yang menghambat arus masuknya investasi modal asing tersebut.
Mengupayakan agar hubungan antara pemodal asing dengan penerima modal tetap diarahkan pada kemitraan yang dapat saling membangun, sehingga sumber luar negeri dari pinjaman luar negeri tetap dapat dimanfaatkan bagi pembangunan ekonomi secara optimal.
Negara penerima modal harus dapat mengembangkan potensi ekonominya  secara akurat, serta mampu menjaring informasi mengenai kegiatan usaha penanaman modal dalam rangka peningkatan kemampuan dan posisi bargaining-nya dalam menghadapi pemilik modal asing.
Motif Arus Modal Internasional (Hady, 2001:93-94)
1.      Portofolio Investment

a)      High Return
Motif dasar dari International Portofolio Investment adalah untuk mencari tingkat hasil yang tinggi. Sesuai dengan model Heckser-Ohlin, maka penduduk suatu negara akan membeli saham ataupun obligasi dari perusahaan yang berada di negara lain bila memberikan return yang lebih tinggi.
b)      Risk Diversification
Motif lain International Portofolio Investment adalah untuk diversivikasi risiko. Hal ini dilakukan oleh para investor sesuai dengan portofolio theory yang mengatakan bahwa investasi di berbagai surat berharga dapat menghsilkan return tertentu dengan resiko yang lebih kecil atau return yang lebih tinggi dapat dihasilkan dengan resiko tertentu. Dalam hal ini, return dari investasi dalam surat berharga asing (foreign securities) akan bergantung terutama pada perbedaan kondisi ekonomi di luar negeri.
Kebanyakan akan berhubungan terbalik dengan return dari investasi dalam surat berharga dalam negeri  (domestic securities). Sehubungan dengan itu, tindakan investor untuk melakukan diversifikasi investasi, baik dalam foreign maupun domestic securities, akan menghasilkan return yang rata-rata lebih tinggi dan/atau resiko yang lebih rendah daripada hanya melakukan investasi di dalam negeri (domestic securities).
2.      Foreign Direct Investment

a)      Motif utama dari foreign direct investment ini pada dasarnya sama dengan portofolio investment, yaitu untuk mendapatkan return yang lebih tinggi melalui :
·         Tingkat pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi
·         Perpajakan yang lebih menguntungkan
·         Infrastruktur yang lebih baik
b)      Untuk melakukan divesifikasi risiko (risk diversification)
c)      Untuk tetap memiliki comprtitive advantage melaui direct control dengan melakukan hal-hal berikut :

1.      Horizontal Integration
Hal ini banyak dilakukan oleh perusahaan besar atau multinational coorporatin (MNC) yang biasanya berada dalam posisi monopolistic atau oligipolistic dengan tujuan untuk melakukan direct control, khususnya yang berkaitan dengan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan managerial skill tertentu sehingga tetap memiliki competitive advantage atau keunggulan bersaing di setiap pasar luar negeri yang dimasuki.
2.      Vetical Integration
Competitve advantage melalui direct control juga dapat dilakukan dengan vertical integration, baik secara backward maupun forward integration. Backward integration dilakukan dengan jalan foregm direct investment di bidang pertambangan dan pertanian/perkebunan untuk memperoleh jaminan supply bahan baku tertentu dengan harga semurah mungkin, sedangkan forward integration dilakukan dengan jalan membangun jaringan distribusi, misalnya untuk produk otomotif dan elektronik.
Dewasa ini hampir di semua negara, khususnya negara berkembang membutuhkan modal asing. Modal asing itu merupakan suatu hal yang semakin penting bagi pembangunan suatu negara. Sehingga kehadiran investor asing nampaknya tidak mungkin dihindari. Yang menjadi permasalahan bahwa kehadiran investor asing ini sangat dipengaruhi oleh kondisi internal suatu negara, seperti stabilitas ekonomi, politik negara, penegakan hukum.
Penanaman modal memberikan keuntungan kepada semua pihak, tidak hanya bagi investor saja, tetapi juga bagi perekonomian negara tempat modal itu ditanamkan serta bagi negara asal para investor. Pemerintah menetapkan bidang-bidang usaha yang memerlukan penanaman modal dengan berbagai peraturan.
Selain itu, pemerintah juga menentukan besarnya modal dan perbandingan antara modal nasional dan modal asing. Hal ini dilakukan agar penanaman modal tersebut dapat diarahkan pada suatu tujuan yang hendak dicapai. Bukan hanya itu seringkali suatu negara tidak dapat menentukan politik ekonominya secara bebas, karena adanya pengaruh serta campur tangan dari pemerintah asing.
Pada umumya aliran modal ini akan diikuti dengan mobilitas faktor produksi lainnya, seperti tenaga kerja, teknologi, dan manajemen yang secara keseluruhan akan memberikan efek positif bagi kedua negara berupa kenaikan output total dan pendapatan nasional. Namun, mobilitas beberapa faktor produksi secara internasional ini juga mempunyai dilema yang dapat merugikan dan menimbulkan kontroversi politik.
Hal ini dapat dikatakan demikian karena dalam jangka pendek maupun jangka panjang, mobilitas faktor-faktor produksi ini dapat mempunyai efek positif maupun negatif antara lain di bidang hal-hal berikut :
·         Redistribusi income.
·         Keseimbangan balance of payment.
·         Penerimaan pajak.
·         Term of trade.
·         Transfer teknologi dan lain-lain.
Aliran modal asing ini dapat memberikan dampak positif berupa kenaikan produksi nasional di masing-masing negara. Di samping itu, khususnya bagi negara sedang berkembang yang memerlukan dana untuk pembangunan ekonominya seperti Indonesia, jelaslah bahwa foreign direct investment mempunyai beberapa dampak positif dan negatif sebagai berikut : (Hady, 2001:97)
1.      Dampak positif
a)      Sebagai sumber pembiayaan jangka panjang dan pembentukan modal.
b)      Dalam foreign direct investment melekat transfer teknologi dan know-how di bidang manajemen dan pemasaran.
c)      foreign direct investment tidak akan memberatkan balance of payment karena tidak ada kewajiban pembayaran utang dan bunga, sedangkan transfer keuntungan didasarkan kepada keberhasilan foreign direct investment yang dilakukan oleh perusahaan asing tersebut.
d)     Meningkatkan pembangunan regional dan sektoral.
e)      Meningkatkan persaingan dalam negeri yang sehat dan kewirausahaan.
f)       Meningkatkan lapangan kerja.

2.      Dampak negatif
a)      Munculnya dominasi industrial.
b)      Ketergantungan teknologi.
c)      Dapat terjadi perubahan budaya.
d)     Dapat menimbulkan gangguan pada perencanaan ekonomi.
e)      Dapat terjadi intervensi oleh home government dari MNC.
Di samping itu, secara sektoral mungkin aliran modal internasional ini akan ditentang oleh kelompok pemilik faktor produksi tertentu karena terjadinya redistribusi income dari pemilik faktor produksi lainnya (tenaga kerja, tanah/bangunan) ke pemilik modal.
Pemerintah harus melakukan kegiatan-kegiatan untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi, sosial, budaya maupun politik bangsanya. Kegiatan-kegiatan ini perlu ditunjang oleh pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang pada gilirannya pengeluaran pemerintah ini harus dibiayai oleh penerimaan pemerintah.
Sumber utama penerimaan pemerintah ini bersumber dari pajak, penjualan obligasi pemerintah, pinjaman dan pencetakan uang. Untuk membangun infrastruktur dan fasilitas umum bagi masyarakat serta mengelola sumber-sumber daya alam yang dimiliki Indonesia diperlukan modal yang sangat besar. Sumber penerimaan devisa dari ekspor, pajak dan tabungan pemerintah tidak cukup untuk membiayai semua pengeluaran pemerintah.
Oleh karena itu diperlukan tambahan sumber dana, baik dari dalam negeri berupa pinjaman dari masyarakat maupun pinjaman dari luar negeri/utang luar negeri (ULN). Tetapi yang penting bahwa peranan utang luar negeri itu sebagai pelengkap dari dana dari dalam negeri guna mempercepat proses pembangunan ekonomi.
Utang luar negeri memainkan peranan yang sangat penting untuk mendorong peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, baik sebagai sumber dana pada saat terjadinya laju pertumbuhan ekonomi, baik sebagai sumber dana pada saat  terjadinya pinjaman maupun pada saat kita harus melunasi utang luar negeri tersebut. Hal ini tetutama dialami oleh Negara-negara berkembang yang sedang membangun.
“Sekian dan Semoga Bermanfaat”
                                       
Sumber:
Ø  http://nanxsu.blog.com/2011/06/27/neraca-pembayaran-arus-modal-asing-dan-utang-luar-negeri/


Pengertian Neraca Pembayaran

Neraca pembayaran adalah catatan yang sistematik tentang transaksi ekonomi internasional antara penduduk Negara itu dengan penduduk Negara lain (Nopirin, 1996). Menurut Balance of Payment Manual (BPM) yang diterbitkan IMF (1993) definisi neraca pembayaran internasional (Balance of Payment) adalah suatu catatan yang disusun secara sistematis tentang seluruh transaksi ekonomi yang meliputi perdagangan baran jasa, transfer keuangan dan moneter antarapenduduk (resident) suatu Negara dan penduduk luar negeri (rest of the world) untuk suatu periode tertentu,biasanya satu tahun (Hady, 2001).
Dari definisi di atas, dapat dilemukakan bahwa BOP merupakan suatu catatan sistematis yang disusun berdasarkan suatu sistem akuntansi yang dikenal sebagai double-entry book-keeping sehingga setiap transaksi intrnasional yang terjadi akan tercatan dua kali, yaitu sebagai transaksi kredit dan debit.
Berdasarkan konvensi yang biasanya digunakan dlam sistem double-entry book-keeping, transakasi yang tercatat dalam BOP terdiri atas hal-hal berikut : (Hady, 2001:60 )
Transaksi kredit
1.      Ekspor barang dan jasa.
2.      Penerimaan dari hasil investasi.
3.      Offset to real or financial resources received (Transfer).
4.      Increase in liabilities.
5.      Decrease in financial assets.
Transaksi debit
1.      Impor barang dan jasa.
2.      Pembayaran atas hasil investasi.
3.      Offset to real or financial resources provide (Transfer).
4.      Decrease in liabilities.
5.      Increase in financial assers.
Tujuan Penyusunan Neraca Pembayaran
1.      Mengetahui peranan sektor eksternal dalam perekonomian suatu Negara.
Peranan sektor eksternal tercermin antara lain dari besarnya jumlah permintaan produk domestik oleh bukan penduduk, atau sebaliknya. Semakin besar permintaan terhadap produk domestik oleh bukan penduduk, yang tercermin dari nilai ekspor Negara bersangkutan, semakin besar pula peranan sektor eksternal dalam pembentukan produk domestik.
2.      Mengetahui aliran sumber daya antar Negara.
Berdasarkan Neraca Pembayaran dapat diketahui seberapa besar aliran sumber daya antara suatu Negara dengan Negara-negara lainnya sehingga terlihat apakah Negara tersebut merupakan pengekspor barang dan atau modal, atau sebaliknya sebagai pengimpor barang atau modal
3.      Mengetahui struktur ekonomi dan perdagangan suatu Negara
Dengan mengamati perkembangan Neraca Pembayaran, dapat diketahui pola umum kegiatan perekonomian suatu Negara dalam berinteraksi dengan Negara lain, seperti ketergantungan sumber pendapatan nasional dari hasil ekspor produk petanian dan ketergantungan sumber pembiayaan investasi dari Negara lain.
4.      Mengetahui permasalahan utang luar negeri suatu Negara
Berdasarkan catatan transaksi modal dan keuangan di Neraca Pembayaran, dapat diketahui seberapa jauh suatu Negara dapat memenuhi kewajibannya terhadap Negara lain.
5.      Mengetahui perubahan posisi cadangan devisa suatu Negara.
Bertambah atau berkurangnya posisi cadangan devisa terkait dengan surplus  atau defisit Neraca Pembayaran. Apabila terjadi surplus Neraca Pembayaran maka posisi cadangan devisa akan bertambah sebesar surplus tersebut. Dan sebaliknya.
6.      Dipergunakan sebagai sumber data dan informasi dalam penyusunan anggaran devisa (foreign exchange budget).
Dengan memperhatikan surplus atau defisit Neraca Pembayaran pada tahun tertentu, dapat diperlukan besarnya kebutuhan devisa untuk anggaran tahun berikutnya, sekaligus dapat ditentukan besarnya pinjaman yang diperlukan.
7.      Dipergunakan sebagai sumber data penyusunan statistik pendapatan nasional (national account).
Statistic Neraca Pembayaran diperlukan dalam perhitungan pendapatan nasional mengingat salah satu variabel pendapatan nasional adalah nilai ekspor-impor barang dan jasa yang tercatat dalam Neraca Pembayaran.
Komponen Neraca Pembayaran
Neraca pembayaran dapat dipecah ke dalam beberapa kategori yaitu; transaksi berjalan (current account), neraca modal (capital account), dan cadangan devisa negara (official reserves account),
1.      Transaksi berjalan (current account).
Merupakan bagian dari neraca pembayaran yang berisi arus pembayaran jangka pendek (mencatat transaksi ekspor-impor barang dan jasa), yang meliputi :
a)      ekspor dan impor barang-barang dan jasa ekspor barang-barang dan jasa yang diperlakukan sebagai kredit impor barang-barang dan jasa diperlakukan kembali sebagai debit.
b)      net investment income tingkat bunga dan dividen diperlakukan sebagai jasa karena merepresentasikan pembayaran untuk penggunaan modal.
c)      net transfer (transfer unilateral), meliputi bantuan luar negeri, pemberian-pemberian dan pembayaran lain antar pemerintah dan antar pihak swasta. Net transfer bukan merupakan perdagangan barang dan jasa. Atau dengan kata lain transaksi berjalan merangkum aliran dana antara satu Negara tertentu dengan seluruh negara lain sebagai akibat dari pembelian barang-barang atau jasa, provisi income atas aset finansial, atau transfer unilateral (misalnya bantuan bantuan antar pemerintah dan antar pihak swasta).
Transaksi berjalan merupakan ukuran posisi perdagangan intenasional yang luas. Defisit transaksi berjalan menjelaskan arus dana yang keluar suatu negara lebih besar dari dana-dana yang diterimanya. Komponen transaksi berjalan meliputi neraca perdagangan dan neraca barang dan jasa.
Transaksi berjalan umumnya digunakan untuk menilai neraca perdagangan. Neraca Perdagangan secara sederhana merupakan selisih/perbedaan antara ekspor dan impor. Jika impor lebih tinggi dari ekspor, maka yang terjadi adalah defisit neraca perdagangan. Sebaliknya, jika ekspor lebih tinggi dari impor, yang terjadi adalah surplus. Sedangkan Neraca Jasa adalah neraca perdagangan ditambah jumlah pembayaran bunga kepada para investor luar negeri dan penerimaan dividen dari investasi di luar negeri, serta penerimaan dan pengeluaran yang berhubungan dengan pariwisata dan transaksitransaksi ekonomi lainnya.
“Sekian dan Semoga Bermanfaat”

Sumber:
Ø  http://nanxsu.blog.com/2011/06/27/neraca-pembayaran-arus-modal-asing-dan-utang-luar-negeri/


Tingkat Daya Saing Perdagangan Luar Negeri Indonesia


Daya saing merupakan salah satu kriteria yang menentukan keberhasilan suatu negara dalam perdagangan internasional. Berdasarkan badan pemeringkat daya saing dunia, IMDWorld Competitiveness Yearbook 2006, posisi daya saing Indonesia dalam beberapa tahun semakin menurun. IMDWorld Competitiveness Yearbook (WCY) adalah sebuah laporan mengenai daya saing negara yang dipublikasikan sejak tahun 1989.
Pada tahun 2000, posisi daya saing Indonesia menduduki peringkat 43 dari 49 negara. Tahun 2001 posisi daya saing Indonesia semakin menurun, yaitu menduduki peringkat 46. Selanjutnya, tahun 2002 posisi daya saingnya masih menduduki posisi bawah, yaitu peringkat 47. Lalu, tahun 2003, posisi daya saingnya malah makin terpuruk, yaitu menduduki peringkat 57. Tahun 2004 menduduki peringkat 58. Tahun 2005 Indonesia menduduki posisi 58. Tahun 2006 Indonesia telah menduduki posisi 60.
Selama lima tahun terakhir (2005-2009) pertumbuhan ekspor Indonesia cenderung meningkat sebesar 20% pertahun, begitu pula pertumbuhan impor cenderung meningkat sebesar 9,7% pertahun. Pada Tahun 2009 Indonesia menduduki peringkat ke-29 dalam ekspor dunia dan posisi ke-28 dalam impor dunia. Selama tahun 2009, sektor Industri menyumbang 75,3%, pertambangan 20,2% dan pertanian 4,5 % terhadap total eskpor Indonesia. Negara yang menjadi mitra Dagang utama Indonesia adalah Jepang, Amerika Serikat Singapura, RRT dan India
Indonesia telah mengalami kemajuan yang mantap dalam penerapan reformasi perdagangan pada beberapa tahun terakhir dan hal itu merupakan salah satu dari beberapa faktor yang membantu berkembangnya penyerapan tenaga kerja di sektor resmi, memangkas tingkat kemiskinan dan mengembangkan tingkat menengah penduduk Indonesia. Selain itu, Indonesia lebih beruntung dibanding negara-negara tetangganya dengan berhasil melewati krisis keuangan dunia secara relatif mulus.
Hal ini memberikan kesempatan yang unik bagi Indonesia pasca krisis untuk meningkatkan penjualan dalam negeri dan pangsa pasar dunianya. Untuk meraih kesempatan ini sebaik-baiknya, Indonesia harus terus mendorong reformasi perdagangan dan menghindari protektionisme yang akan menghambat efisiensi dan inovasi. Selain Indonesia, hanya Hong Kong dan Cina saja yang pada tahun 2010 berhasil mengembalikan nilai perdagangan internasionalnya ke tingkat absolut pra-krisis keuangan dunia.
Walaupun pertumbuhan ekspor komoditas berbasis sumber daya meningkat tajam, Indonesia hanya mencatat kemajuan yang terbatas dalam meningkatkan ekspor produk-produk manufaktur dan terproses. Produsen-produsen Indonesia telah menyuarakan keprihatinan akan daya saing mereka melawan produsen berbiaya rendah, baik di dalam negeri maupun di pasar asing. Penurunan pertumbuhan bidang manufaktur dan menyurutnya pangsa ekspor sektor manufaktur juga menimbulkan tanda tanya mengenai daya saing sektor manufaktur Indonesia.
Satu bidang yang memberati perdagangan sehingga menurunkan daya saing produk-produk Indonesia dibanding produk impor luar negeri adalah rendahnya tingkat hubungan perdagangan Indonesia yang merupakan akibat dari buruknya sistem logistiknya. Hubungan perdagangan adalah masalah yang memberikan tantangan yang berbeda bergantung pada apakah hambatannya mempengaruhi hubungan perdagangan internasional, antar pulau atau dalam pulau. Tingginya biaya transportasi barang-barang bernilai tinggi seperti udang dari belahan Timur Indonesia ke pusat-pusat pemrosesan di pulau Jawa melambungkan harga mereka ke titik yang terlalu mahal untuk diekspor, dan juga lebih murah untuk mengimpor buah jeruk dari Cina dibanding mengirimkannya dari pulau Kalimantan ke pulau Jawa. Itulah beberapa contoh buruknya efisiensi dalam perdagangan antar pulau.
Contoh tingginya biaya logistik dalam pulau termasuk parahnya kemacetan di pulau Jawa, terutama di Jabotabek, dan juga buruknya kualitas jalan di luar pulau Jawa, yang secara keseluruhan menempatkan biaya transportasi darat di Indonesia lebih tinggi dari rata-rata biaya di Asia. Buruknya kinerja pelabuhan-pelabuhan utama di Jakarta dan Surabaya, karena rendahnya produktivitas pelabuhan dan tidak penuhnya penerapan National Single Window (NSW), juga merintangi hubungan perdagangan internasional.
Tingginya biaya dan ketidakpastian jalur transportasi domestik tersebut juga menghalangi Indonesia untuk lebih terintegrasi ke dalam jaringan produksi persediaan-minim (just-in-time) produk-produk yang bernilai tinggi. Perijinan dan harga yang diatur oleh pemerintah menurunkan insentif untuk berinvestasi dalam layanan yang lebih baik dan membatasi persaingan antara perusahaan-perusahaan pengiriman darat dan laut di dalam negeri. Pembatasan investasi asing di bidang logistik makin memperburuk keadaan dengan terbatasnya akses terhadap teknologi baru.
Sementara Indonesia telah membuat kemajuan dalam meningkatkan tingkat efisiensi pelabuhan dan bea cukai, masih dibutuhkan peningkatan lebih lanjut. Rata-rata waktu tunggu kontainer impor di terminal utama kontainer adalah lima hari, dibanding kurang dari tiga hari pada kebanyakan pelabuhan-pelabuhan di wilayah tersebut. Impor kontainer kosong selesai kurang dari setengah lamanya waktu yang dibutuhkan kontainer yang penuh, menunjukkan bahwa sebagian besar penundaan disebabkan oleh pengawas perbatasan dan prosedur pemeriksaan dan bukan karena tidak memadainya prasarana.
Prosedur-prosedur administratif yang membebani dan tidak jelas juga turut memperburuk penundaan impor dan mengundang korupsi, sehingga menurunkan daya saing industri-industri yang menggunakan komponen impor. Selain itu, walaupun Indonesia memiliki ekonomi yang sangat terbuka dalam hal tarif, halangan non-tarif-nya tetaplah berarti dan belakangan ini terjadi peningkatan yang mencemaskan dalam halangan non-tarif tersebut.

“Sekian dan Semoga Bermanfaat”
                                       
                                       
Sumber:
Ø  http://www.kemendag.go.id/id/faq
Ø  http://web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/COUNTRIES/EASTASIAPACIFICEXT/INDONESIAINBAHASAEXTN/0,,contentMDK:22757318~pagePK:1497618~piPK:217854~theSitePK:447244,00.html

Ø  http://wmurtiyasni.blogspot.com/2012/05/peranan-indonesia-dalam-perdagangan.html