Rabu, 29 April 2015

Utang Luar Negeri (ULN)

Hutang luar negeri pemerintah Indonesia merupakan pinjaman dari pihak-pihak asing seperti negara sahabat, lembaga internasional (IMF, World Bank, ADB), pihak lain yang bukan penduduk Indonesia. Bentuk hutang yang diterima dapat berupa dana, barang atau jasa. Berbentuk barang bila pemerintah membeli barang modal ataupun peralatan perang yang dibayar secra kredit. Berbentuk jasa sebagian besar berupa kehadiran tenaga ahli dari pihak kreditur untuk memberikan jasa konsultasi pada bidang-bidang tertentu yang lebih dikenal dengan Technical Assistance.
Karena bantuan luar negeri banyak harus dibayar kembali maka umumnya disebut juga utang luar negeri. Bank dunia mengklasifikasikan total utang kredit IMF. Utang jangka pendek adalah utang dengan jatuh tempo satu tahun atau kurang. Utang jangka panjang umumnya berjangka waktu lebih dari satu tahun. Penggunaan kredit IMF merupakan kewajiban yang dapat dibeli kembali (repurchase obligations) atas semua penggunaan fasilitas IMF.
Utang yang berjangka panjang dapat diperinci menurut jenis utangnya, yaitu utang swasta yang tidak dijamin oleh pernerintah (public and publicly guaranteed debt). Utang swasta yang non guaranteed debt adalah utang yang dilakukan oleh debitur swasta, di mana utang tersebut tidak dijamin oleh institusi pernerintah. Di lain pihak, utang pernerintah adalah utang yang dilakukan oleh suatu institusi pemerintah, termasuk pernerintah pusat, departemen, dan lembaga pernerintah yang otonom.
Utang yang publicly guaranted merupakan utang yang dilakukan oleh debitur swasta namun dijamin pembayaramiya oleh suatu lembaga pemerintah. Bagi kebanyakan negara berkembang, jenis utang yang public and publicly guaranteed yang perlu lebih mendapat perhatian karena apabila negara berkembang tidak mampu membayar kembali utang tersebut maka pemerintah negara tersebutlah yang menangung akibatnya. Resiko ini tidak dijumpai untuk kategori utang swasta yang tidak dijamin oleh pemerintah karena swastalah yang harus menanggung akibatnya.
Pinjaman luar negeri akan menimbulkan masalah jika dana tersebut tidak diinvestasikan secara produktif untuk kegiatan-kegiatan yang menghasilkan tingkat pengembalian devisa yang tinggi untuk menutupi pembayaran bunga. Krisis utang dunia yang terjadi pada dekade 80-an menjadi bukti bahayanya pembiayaan melalui utang luar negeri di mana banyak negara terpaksa menunda kewajiban membayar utang (Weiss, 1995).
Pengaruh eksternal bukan satu-satunya penyebab krisis, kebijaksanaan pemerintah yang tidak terarah juga bisa dianggap mempunyai pengaruh terhadap krisis ekonomi (Gillis et.al, 1996). Gairah untuk mencapai tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi memang banyak mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah melalui peningkatan pengeluaran pemerintah, sehingga menimbulkan defisit anggaran yang semakin membesar. Dalam kondisi perekonomian yang tidak stabil, investor swasta menanamkan dananya pada usaha-usaha non-produktif, seperti tanah, atau menginventasikannya di luar negeri yang menimbulkan defisit eksternal.
Sejak tahun 1960-an hingga sekarang, studi-studi empiris mengenai pengaruh utang luar negeri dan berbagai tipe modal asing lainnya terhadap pertumbulian ekonomi dan atau tabungan di suatu negara terus berlangsung (Rana, 1987 ; Rachbini, 1995 : ix). Di satu sisi, dari tahun ke tahun studi-studi tersebut terus mengalami perkembangan, baik dalam permodelan maupun metodologi penelitian. Di sisi lain, penelitian-penelitian yang ada ternyata menimbulkan perdebatan yang tak kunjung usai.
Asal Hutang Luar Negeri
Utang yang tergolong public and publicly guaranted dapat diperinci menurut krediturnya. Selama ini pihak kreditur (pihak yang memberikan utang) dapat berasal dari sumber resmi maupun swasta. Utang luar negeri yang berasal dari sumber resmi dibagi menjadi :
1.      Bilateral
Pinjaman bilateral adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa maupun dalam bentuk barang atau jasa. yang diperoleh dari Pemberi Pinjaman Luar Negeri yang berasal dari pemerintah suatu negara melalui suatu lembaga/badan keuangan yang dibentuk oleh pemerintah negara yang bersangkutan untuk melaksanakan pemberian pinjaman yang harus dibayar kembali dengan persyaratan tertentu. Dari segi jenisnya, pinjaman/hibah bilateral dapat dibedakan dalam :
Ø  Hibah (grant), yaitu penerimaan negara baik dalam bentuk devisa maupun barang/jasa yang tidak perlu dibayar kembali. Hibah digunakan untuk pembiayaan proyek, namun khusus hibah dalam  bentuk devisa dapat digunakan untuk bantuan program. Hibah yang diterima  pemerintah saat ini berasal dari pemerintah Inggris, Australia, selandia Baru dan Kanada.
Ø  Pinjaman Lunak (soft loan), yaitu pinjaman yang disetujui oleh negara donor dengan persyaratan Grant Element minimum dengan bunga pinjaman sebesar  3,5% atau kurang, jangka waktu pengembalian 25 tahun atau lebih, termasuk tenggang waktu 7 tahun lebih. Pinjaman ini umumnya digunakan untuk pembiayaan proyek dan bantuan program.
Dalam praktiknya pinjaman lunak tersebut dapat diperoleh pula dari gabungan antara pinjaman komersial atau fasilitas kredit ekspor dengan pinjaman lunak. Yang terpenting gabungan dari sumber-sumber pinjaman tersebut akan menghasilkan persyaratan pinjaman lunak sesuai dengan Inpres No. 8/1984. Bentuk pinjaman ini disebut blending.
2.      Multilateral
Pinjaman miiltilateral adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa maupun dalam bentuk barang/jasa yang diperoleh dari pemberian Pinjaman Luar Negeri yang berasal dari lembaga keuangan internasional maupun regional dan biasanya Indonesia merupakan  anggota dari lembaga keuangan tersebut.
Pinjaman setengah lunak, yaitu pinjaman yang persyaratannya lebih mahal  (lebih berat) dari pinjaman lunak tetapi masih lebih lunak dari fasilitas kredit ekspor. Pinjaman bentuk ini pada umumna merupakan gabungan dari pinjaman lunak dengan fasilitas :ekspor atau pinjaman komersial. Bentuk pinjaman ini disebut Credit yang persyaratannya tidak mengikuti ODA terms and wis.
Pinjaman (Mixed Credit) ini yang pertama menawarkan Indonesia adalah negara Perancis, kemudian diikuti oleh Negara Jerman  (KFW) dan kernudian oleh negara Inggris. Pinjaman ini dimanfaatkan Indonesia saat ini karena sejak Indonesia naik peringkatnya dari non industrialized country menjadi semi industri country, pada akhir Repelita III sudah agak sukar memperoleh pinjaman bersyarat lunak (ODA terms and Conditions).
Salah satu komponen penting dari arus modal masuk yang banyak mendapat perhatian literatur mengenai pembangunan ekonomi di negara berkembang adalah utang luar negeri. Isu ini juga menjadi sangat penting bagi Indonesia saat ini, sejak krisis ekonomi nyaris membuat Indonesia bangkrut secara finansial, karena jumlah utang luar negerinya terutama dari swasta sangat besar, ditambah lagi dengan ketidakmampuan sebagian besar dari perusahaan-perusahaan dalam negeri untuk membayar kembali ULN mereka.
Sejak krisis ULN terjadi pada awal 1980-an, masalah ULN yang dialami oleh banyak Negara berkembang tidak semakin baik. Banyak Negara berkembang semakin terjerumus ke dalam krisis ULN sampai negara-negara pengutang besar terpaksa melakukan program-program penyesuaian struktural terhadap ekonomi dalam negeri mereka atas desakan dari Bank Dunia dan IMF sebagai syarat utama untuk mendapatkan pinjaman baru atau pengurangan terhadap pinjaman lama.
Tingginya ULN dari banyak Negara berkembang disebabkan oleh faktor-faktor berikut :
1.      Defisit Transaksi Berjalan
2.      Kebutuhan dana untuk membiayai S-I gap (saving-investment gap) yang negatif
3.      Tingkat inflasi yang tinggi
4.      Ketidakefisiensinya struktural di dalam perekonomian.
Dari faktor-faktor tersebut, defisit transaksi berjalan sering disebut di dalam literatur sebagai penyebab utama membengkaknya ULN dari Negara berkembang. Besarnya defisit transaksi berjalan melebihi surplus neraca modal (jika saldonya memang positif) membuat defisit Neraca Pembayaran yang berarti juga cadangan devisa berkurang. Apabila saldo transaksi berjalan setiap tahun negatif, maka cadangan devisa dengan sendirinya akan habis jika tidak ada sumber-sumber lain (misalnya dari arus modal masuk), seperti yang dialami oleh negara-negara paling miskin di benua Afrika.
Padahal devisa sangat dibutuhkan terutama untuk membiayai impor barang-barang modal dan pembantu untuk kebutuhan kegiatan produksi dalam negeri.
Dari uraian-uraian di atas, dapat dimengerti bahwa defisit Transaksi Berjalan yang terjadi terus menerus membuat banyak Negara berkembang harus tetap bergantug pada pinjaman dari luar negeri, terutama negara-negara yang kondisi ekonomi dalam negerinya tidak menggairahkan investor-investor asing, sehingga sulit bagi negara-negara tersebut untuk mrnsubstitusikan pinjaman luar negeri dengan investasi, misalnya dalam bentuk penanaman modal asing.
Sejak pemerintahan Orde Baru hingga saat ini, tingkat ketergantungan Indonesia pada pinjaman luar negeri tidak pernah menyurut, bahkan mengalami suatu akselerasi yang pesat sejak krisis ekonomi, karena Indonesia membuat ULN yang baru dalam jumlah yang besar dari IMF untuk membiayai proses pemulihan ekonomi. Pada masa normal selama pemerintahan Soeharto, ULN dibutuhkan terutama untuk membiayai S-I gap (saving-investment gap), defisit transaksi berjalan (trade gap), dan beberapa komponen dari sisi G di dalam APBN atau defisit keuangan pemerintah (fiscal gap).
Menurut Sachs (1981, 1982) negara yang mempunyai masalah dalam pelunasan utang luar negerinya cenderung untuk tidak menunda pembayaran utangnya karena pilihan menunda akan menghadapi risiko gangguan dalam perdagangan internasional dan arus modal masuk. Oleh karena itu, kenaikan dalam pelunasan utang cenderung menaikan ULN. Selain itu, permintaan ULN juga ditentukan oleh tingkat suku bunga di pasar uang internasional atau lebih tepatnya spread, yaitu margin di atas LIBOR (London Interbank Offered Rate).
Idealnya, jika sebuah negara telah mencapai suatu tingkat pembangunan tertentu atau pada fase terakhir dari proses pembangunan, ketergantungan negar tersebut terhadap pinjaman luar negeri akan lebih rendah dibandingkan dengan periode pada saat negara itu baru mulai membangun.
Proksi yang umum digunakan untuk mengukur tingkat pembangunan sebuah negara adalah tingkat Y (atau PDB) dalam nilai riil per kapita, sedangkan indikator-indikator makro yang umum digunakan utnuk mengukur tingkat ketergantungan sebuah negara terhadap bantuan atau ULN adalah misalnya rasio ULN-PDB, atau rasio ULN terhadap nilai total dari perdagangan luar negeri (X+M) atau terhadap nilai ekspor.
“Sekian dan Semoga Bermanfaat”
                                       
Sumber:

Ø  http://nanxsu.blog.com/2011/06/27/neraca-pembayaran-arus-modal-asing-dan-utang-luar-negeri/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar