Cultuurstelsel (harafiah: Sistem Kultivasi atau
secara kurang tepat diterjemahkan sebagai Sistem Budi Daya) yang oleh sejarawan
Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa, adalah peraturan yang dikeluarkan
oleh Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch pada tahun 1830 yang mewajibkan
setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor,
khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada
pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen
diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah
harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah
yang menjadi semacam pajak.
Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan
pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch dengan tujuan memproduksi berbagai
komoditi yang diminta di pasar dunia. Sistem tersebut sangat menguntungkan
Belanda namun semakin menyiksa pribumi. Sistem ini merupakan pengganti sistem
landrent dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi.
Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas
ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar
dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Cultuurstelstel melibatkan
para bangsawan dalam pengumpulannya, antara lain dengan memanfaatkan tatanan
politik Mataram–yaitu kewajiban rakyat untuk melakukan berbagai tugas dengan
tidak mendapat imbalan–dan memotivasi para pejabat Belanda dengan
cultuurprocenten (imbalan yang akan diterima sesuai dengan hasil produksi yang
masuk gudang).
Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel
amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih
diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara
menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli
Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf
hidup
Sejarah
Pada tahun 1830 pada saat pemerintah penjajah hampir
bangkrut setelah terlibat perang Jawa terbesar (Perang Diponegoro, 1825-1830),
Gubernur Jenderal Judo mendapat izin khusus melaksanakan sistem Tanam Paksa
(Cultuur Stelsel) dengan tujuan utama mengisi kas pemerintahan jajahan yang
kosong, atau menutup defisit anggaran pemerintah penjajahan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa
desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya
diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa yang bersangkutan. Van
den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya untuk ditanam
komoditi ekspor ke Eropa (kopi, tebu, dan nila). Penduduk dipaksa untuk
menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan
menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu
melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi
ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti dibayar, desa itu akan
menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti membayar kekurangan
tadi dari sumber-sumber lain.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan
sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah
sepenuhnya berjalan di Jawa. Pemerintah kolonial memobilisasi lahan pertanian,
kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh,
tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang membubung,
dibudidayakan.
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini
berhasil luar biasa. Karena antara 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa membangun
sendiri, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan
Belanda. Umumnya, lebih dari 30 persen anggaran belanja kerajaan berasal
kiriman dari Batavia. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang
dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia
menjadi sumber modal. Misalnya, membiayai kereta api nasional Belanda yang
serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Badan operasi sistem tanam paksa Nederlandsche
Handel Maatchappij (NHM) merupakan reinkarnasi VOC yang telah bangkrut. Akibat
tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun melambung.
Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan
juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Sistem tanam paksa yang kejam ini, setelah mendapat
protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, akhirnya dihapus pada tahun
1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung sampai
1915. Program yang dijalankan untuk menggantinya adalah sistem sewa tanah dalam
UU Agraria 1870.
Aturan
Berikut
adalah isi dari aturan tanam paksa :
1. Tuntutan kepada setiap rakyat Indonesia agar
menyediakan tanah pertanian untuk cultuurstelsel tidak melebihi 20% atau
seperlima bagian dari tanahnya untuk ditanami jenis tanaman perdagangan.
2. Pembebasan tanah yang disediakan untuk
cultuurstelsel dari pajak, karena hasil tanamannya dianggap sebagai pembayaran
pajak.
3. Rakyat yang tidak memiliki tanah pertanian dapat
menggantinya dengan bekerja di perkebunan milik pemerintah Belanda atau di
pabrik milik pemerintah Belanda selama 66 hari atau seperlima tahun.
4. Waktu untuk mengerjakan tanaman pada tanah pertanian
untuk Culturstelsel tidak boleh melebihi waktu tanam padi atau kurang lebih 3
(tiga) bulan
5. Kelebihan hasil produksi pertanian dari ketentuan
akan dikembalikan kepada rakyat
6. Kerusakan atau kerugian sebagai akibat gagal panen
yang bukan karena kesalahan petani seperti bencana alam dan terserang hama,
akan di tanggung pemerintah Belanda
7. Penyerahan teknik pelaksanaan aturan tanam paksa
kepada kepala desa
Dampak
A. Dalam bidang pertanian
Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman tanaman
komoditi pendatang di Indonesia secara luas. Kopi dan teh, yang semula hanya
ditanam untuk kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas. Tebu,
yang merupakan tanaman asli, menjadi populer pula setelah sebelumnya, pada masa
VOC, perkebunan hanya berkisar pada tanaman "tradisional" penghasil
rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh.
Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang
melanda Jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah
koloni akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian,
dan secara umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian. Walaupun
demikian, baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian
pertanian dilakukan secara serius.
B. Dalam bidang sosial
Dalam bidang pertanian, khususnya dalam struktur
agraris tidak mengakibatkan adanya perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarap
sebagai budak, melainkan terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang
berprinsip pada pemerataan dalam pembagian tanah. Ikatan antara penduduk dan
desanya semakin kuat hal ini malahan menghambat perkembangan desa itu sendiri.
Hal ini terjadi karena penduduk lebih senang tinggal di desanya, mengakibatkan
terjadinya keterbelakangan dan kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan
penduduknya.
C. Dalam bidang ekonomi
Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan
pekerja mengenal sistem upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk,
mereka lebih mengutamakan sistem kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di
kota-kota pelabuhan maupun di pabrik-pabrik gula. Dalam pelaksanaan tanam
paksa, penduduk desa diharuskan menyerahkan sebagian tanah pertaniannya untuk
ditanami tanaman eksport, sehingga banyak terjadi sewa menyewa tanah milik
penduduk dengan pemerintah kolonial secara paksa.
Dengan demikian hasil produksi tanaman eksport
bertambah,mengakibatkan perkebunan-perkebunan swasta tergiur untuk ikut
menguasai pertanian di Indonesia di kemudian hari.
Akibat lain dari adanya tanam paksa ini adalah
timbulnya “kerja rodi” yaitu suatu kerja paksa bagi penduduk tanpa diberi upah
yang layak, menyebabkan bertambahnya kesengsaraan bagi pekerja. Kerja rodi oleh
pemerintah kolonial berupa pembangunan-pembangunan seperti; jalan-jalan raya,
jembatan, waduk, rumah-rumah pesanggrahan untuk pegawai pemerintah kolonial,
dan benteng-benteng untuk tentara kolonial.
Di samping itu, penduduk desa se tempat diwajibkan
memelihara dan mengurus gedung-gedung pemerintah, mengangkut surat-surat,
barang-barang dan sebagainya. Dengan demikian penduduk dikerahkan melakukan
berbagai macam pekerjaan untuk kepentingan pribadi pegawai-pegawai kolonial dan
kepala-kepala desa itu sendiri.
“Sekian dan Semoga Bermanfaat”
Sumber:
Ø http://id.wikipedia.org/wiki/Cultuurstelsel
Tidak ada komentar:
Posting Komentar